Jumat, 02 Januari 2015

Pembagian harta gono gini

Perkawinan pada dasarnya merupakan ikatan lahir batin seorang
pria dan seorang wanita yang bertujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagaimana ini diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UU
Perkawinan). Namun dalam kenyataannya, terkadang keluarga atau
rumah tangga yang dibentuk oleh ikatan perkawinan tidak dapat
dipertahankan dengan berbagai sebab dan alasan.
Sebab dan alasan keretakan keluarga/rumah tangga sangat
beragam dan muncul terkadang tidak diperkirakan sejak awal. Pada
awalnya masing-masing pihak beranggapan bahwa calon pasangan
mereka adalah orang yang tepat mendampingi perjalanan
hidupnya. Namun perkembangan tidak selamanya berjalan seperti
yang diharapkan. Problematika yang biasa terjadi dalam biduk
rumah tangga menjadi hal yang luar biasa ketika tidak ditemukan
penyelesaiannya. Hingga klimaknya berujung pada perceraian atau
perpisahan.
Perceraian sebagaimana dalam UU Perkawinan dimasukkan sebagai
salah satu alasan putusnya perkawinan selain karena kematian dan
keputusan pengadilan. Secara materiil perceraian didasari oleh
kaedah agama/ kepercayaan dari pasangan bersangkutan dan
secara formil putusan pengadilan memberikan keabsahan atas
perceraian yang terjadi menurut hukum negara yang berlaku.
Salah satu implikasi dari perceraian adalah pembagian harta
bersama menjadi harta yang dibawa oleh masing-masing pihak atau
biasa disebut “harta gono-gini” pasca perceraian. Pembagian harta
gono-gini seringkali menjadi persoalan pelik yang tidak tuntas oleh
para pihak melalui kesepakatan semata. Bahkan berdasarkan
kenyataan yang sering terjadi, masalah ini kerap menyebabkan
proses perceraian menjadi berbelit-belit disamping masalah hak
asuh atas anak.
Istilah “harta gono-gini” pada dasarnya tidak dikenal dalam UU
Perkawinan kita. Dalam UU Perkawinan setidaknya dikenal 3 (tiga)
jenis harta yaitu harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan.
Adapun pengertian masing-masing harta tersebut adalah sebagai
berikut:
* Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.
Harta ini merupakan harta yang dikuasai bersama selama
perkawinan.
* Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing
pihak sebelum proses perkawinan dilakukan. Harta ini dikuasai oleh
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
* Harta perolehan adalah harta yang diperoleh dari hadiah atau
warisan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Sedikit berbeda dengan penjenisan menurut UU Perkawinan,
menurut Hukum Islam harta yang terkait dengan perkawinan
terdapat 3 (tiga) jenis yaitu :
* Harta Milik Suami, yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa
kepemilikan isteri pada harta itu. Misalnya harta yang diperoleh dari
hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada
isterinya, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada suami
secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan
sebagainya.
* Harta Milik Isteri, yaitu harta yang dimiliki oleh isteri saja tanpa
kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta hasil kerja yang
diperoleh dari hasil kerja isteri, atau harta yang dihibahkan oleh
orang lain khusus untuk isteri, atauharta yang diwariskan kepada
isteri, dan lain-lain.
* Harta Milik Bersama Suami Isteri. Misalnya harta yang dihibahkan
oleh seseorang kepada suami isteri, atau harta benda (misalnya
mobil, rumah, TV) yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka
berdua (patungan), dan sebagainya.
(sumber: Muhammad Shiddiq Al-Jawi (http://
www.khilafah1924.org))
Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia harta gono-
gini selain diatur dalam UU Perkawinan juga diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Pengaturan harta gono-gini ini diakui secara hukum,
termasuk dalam hal pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya.
Dalam perspektif hukum Islam, harta gono-gini bisa ditelusuri
melalui pendekatan qiyas dan ijtihad yang biasanya disebut dengan
konsep syirkah (kerja sama).
Berdasarkan kajian dari berbagai sumber hukum diatas, harta gono-
gini dimaksudkan sebagai harta benda dalam perkawinan yang
dihasilkan oleh pasangan suami istri secara bersama-sama selama
masa perkawinan masih berlangsung. Sehingga legalitasnya diakui
oleh hukum positif maupun Hukum Islam. Sebaliknya, yang tidak
termasuk dalam kategori harta gono-gini adalah harta yang
diperoleh atau dihasilkan sebelum masa perkawinan, biasa disebut
dengan harta bawaan (seperti halnya harta warisan) atau harta milik
pribadi yang diperoleh setelah masa perkawinan (harta perolehan,
harta hibah, hadiah, dan sedekah).
UU Perkawinan telah jelas memisahkan penguasaan dan perlekatan
hak kepemilikan atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan.
Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 36 disebutkan bahwa :
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.
Namun dalam hal yang sama UU Perkawinan kembali menyerahkan
pengaturan atas harta benda setelah putusnya perkawinan menurut
hukumnya masing-masing. Artinya menurut hukum yang dipilih
oleh para pihak dalam perkawinan. Apakah Hukum Perdata, Hukum
Islam atau Hukum Agama lain yang diakui oleh Undang-Undang.
Sehingga mekanisme dan penentuan besaran harta gono-gini
tersebut dilakukan berdasarkan kaedah hukum apa yang dianut oleh
pihak-pihak dalam perkawinan tersebut.
Perlu dicatat bahwa harta bersama atau kita istilahkan dengan harta
gono-gini menurut UU Perkawinan dibatasi terhadap perkawinan
yang dilakukan lebih dari satu kali. Ini berarti harta bersama dalam
perkawinan pertama tidak dapat disebut sebagai harta bersama
pada perkawinan kedua dan seterusnya. Implikasinya adalah istri
kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama
yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau
berikutnya itu terjadi. Dengan kata lain, harta yang menjadi hak
suami sebelum perkawinan kedua dan seterusnya tetap dianggap
sebagai harta bawaan, bukan harta bersama (lihat Pasal 65 ayat (1)
huruf b).
Mengingat begitu menariknya pembahasan tentang harta gono-gini
untuk menambah khasanah keilmuan kita terlebih relevansinya
dengan banyak realitas yang ada, maka dalam kesempatan
berikutnya akan dituliskan kajian tentang pengaturan dan besaran
pembagian harta gono-gini berdasarkan ketentuan Hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar