Jumat, 02 Januari 2015

Makalah tentang corak corak hukum adat

CORAK HUKUM ADAT
CORAK HUKUM ADAT
PENDAHULUAN
Hukum adat adalah aturan kebiasaan dalam hidup bermasyarakat.
Sejak manusia di turunkan ke muka bumi, maka ia memulai
hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian
bernegara. Sejak manusia berkeluarga mereka telah mengatur
dirinya dan anggota keluarganya. Menurut kebiasaan mereka,
misalnya ayah mencari buruan atau mencari akar-akaran untuk
bahan makanan, sedang ibu menghidupkan api untuk membakar
hasil buruan kemudian bersantap bersama. Perilaku kebiasaan
tersebut itu berlaku terus menerus, sehingga menjadi pembagian
kerja yang tetap.
Hukum adat sebagai hasil budaya bangsa Indonesia bersendi pada
dasar pikiran yang berbeda dengan dasar pikiran dan kebudayaan
barat, dan oleh karena itu untuk dapat memahami hukum adat kita
harus dapat menyelami dasar alam pikiran pada masyarakat
Indonesia. Berbeda dengan cara hukum barat yang cenderung
individualistis dan liberalistis. Adapun mengenai corak hukum adat
yang bersendi pad alam pikiran Indonesia itu akan dibahas dalam
makalah ini.
PERMASALAHAN
Dari uraian diatas dapat diungkapkan beberapa permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah ini,  diantaranya:
1. Corak hukum adat mana yang membedakan antara alam
pikiran hukum adat barat dan Indonesia?
2. Bagaimanakah kelaziman corak hukum adat secara normatif di
Indonesia?
PEMBAHASAN
Corak hukum adat
Barat yang cenderung individualist dan liberalistis sangat berbeda
dengan hukum adat yang bersendi pada alam pikiran Indonesia
karena mempunyai corak yang khusus yaitu:
v    Komunal (communal)
v    Religio magis (magisch-religius)
v    Konkrit (concreeto)
v    Visual
Corak-corak tersebut di atas nampak dengan jelas implementasinya
dalam kehidupan sehari-hari, yang digambarkan oleh Surojo
Wignodipuro S.H. dalam “pengantar dan asas-asas hukum adat”
sebagai berikut:
1)    Corak komunal atau kebersamaan terlihat apabila warga desa
melakukan kerja bakti atau gugur gunung, nampak sekali adanya
kebiasaan hidup bergotong royong, solidaritas yang tinggi atau
saling bantu-membantu. Rasa solidaritas yang tinggi menyebabkan
orang selalu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada
kepentingan diri sendiri. Bahkan pada suku bangsa jawa terdapat
pepatah adat yang dengan tepat menggambarkan corak komunal
yaitu: dudu sanak dudu kadang, ning yen mati melu kelangan
(bukan anggota keluarga bukan saudara sekandung, tetapi kalau ia
meninggal merasa turut kehilangan)
2)    Corak religio magis terlihat jelas sekali pada upacara-upacara
adat dimana lazimnya diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan
pada roh-roh leluhur yang ingin diminta restu bantuannya. Juga
acara selamatan pada setiap kali menghadapi peristiwa penting,
seperti: kelahiran, khitanan, perkawinan, mendirikan rumah, pindah
rumah sampai kematian.
3)    Corak konkrit, tergambar dalam kehidupan masyarakat bahwa;
pikiran penataan serba konkrit dalam realitas kehidupan sehari-hari
menyebabkan satunya kata dengan perbuatan (perbuatan itu betul-
betul merupakan realisasi dari perkataan nya). Misalnya: hanya
memakai “jual” apabila nyata-nyata terlihat adanya tindakan-
tindakan “pembayaran kontan
” dari si pembeli serta “penyerahan barang” dari si penjual.
4)    Corak visual atau kelihatan menyebabkan dalam kehidupan
sehari-hari adanya pemberian tanda-tanda yang kelihatan sebagai
bukti penegasan atau peneguhan dari apa yang telah dilakukan atau
yang dalam waktu dekat akan dilakukan. Misalnya” pemberian
pening set (jawa) atau penyangcang (Sunda) merupakan
penegasan dari telah terjadinya pertunangan, pemberian panjar
pada transaksi jual beli merupakan penegasan adanya kehendak
pemberian yang dalam waktu dekat akan dilakukan. Disamping
coraknya yang berbeda, hukum adat juga mempunyai sifat-sifat g
berbeda pula dengan hukum barat, karena adanya perbedaan alam
pikiran dan cork yang mendasari hukum tersebut.
Hukum adat secara normative
Hukum adat Indonesia yang normative pada umumnya
menunjukkan corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan,
konkrit dan visual, terbuka, dan sederhana, dapat berubah dan
menyesuaikan, tidak di kodifikasi, musyawarah dan mufakat.
†    Tradisional
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat
turun temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu
sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh
masyarakat yang bersangkutan. Misalnya dalam hukum
kekerabatan adat orang batak yang menarik garis keturunan lelaki,
sejak dulu sampai sekarang tetap saja mempertahankan hubungan
kekerabatan yang disebut “dalihan na tolu” (bertungku tiga) yaitu
hubungan antara marga hula-hula, dengan tubu (dongan sebutuha)
dan bolu. Sehingga dengan adanya hubungan kekerabatan tersebut
tidak terjadi perkawinan antara pria dan wanita yang satu keturunan
(satu marga)
Contoh corak tradisional di lampung bahwa dalam hukum kewarisan
berlaku sistem mayorat lelaki, artinya anak tertua lelaki menguasai
seluruh harta peninggalan dengan kewajiban mengurus adik-adik
nya sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri. Harta peninggalan itu
tetap tidak terbagi-bagi, merupakan milik keluarga bersama, yang
kegunaannya untuk kepentingan anggota keluarga.
†    Keagamaan
Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis religius)
artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan
dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan atau berdasarkan
pada ajaran ketuhanan yang maha esa.
Oleh karena apabila manusia akan memutuskan sesuatu atau mau
melakukan sesuatu biasanya berdoa memohon keridhaan tuhan
yang ghaib, dengan harapan karya itu akan  berjalan sesuai dengan
yang dikehendaki, dan tidak melanggar pantangan (pamali) yang
dapat berakibat timbulnya kutukan dari yang maha kuasa.
Corak keagamaan dalam hukum adat ini terangkat pula dalam
pembukaan UUD 1945 alenia yang ketiga yang berbunyi ”atas berkat
rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan  didorong oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan nya”.
†    Kebersamaan
Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan
(komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama.
”satu untuk semua dan semua untuk satu” hubungan hukum antara
anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh rasa
kebersamaan, tolong menolong,  dan gotong-royong.
Oleh karenanya hingga sekarang kita masih melihat rumah gadang
di tanah Minangkabau, ”tanah pusaka” yang  tidak terbagi secara
individual melainkan menjadi milk bersama dan untuk kepentingan
bersama .bahkan corak dan  sifat kebersamaan ini terangkat pula
dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan”” perekonomian
disusun sebagai usaha bersama  berdasar atas kekeluargaan”.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun atas sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
†    Konkrit dan  visual
Corak hukum adat adalah konkrit artinya jelas, nyata, berwujud dan
visual artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi.
Jadi sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat itu
“terang dan tunai”, tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui,
dilihat dan di dengar orang lain, dan nampak terjadi “ijab
Qobul” (serat terima)nya. Misalnya dalam jual beli jatuh bersamaan
waktunya antara pembayaran harga dan penyerahan barangnya.
Jika barang diterima pembeli, tetapi harga belum dibayar maka itu
bukan jual beli melainkan hutang piutang.
†    Terbuka dan sederhana
Corak hukum adat itu “terbuka” artinya dapat menerima masuknya
unsur-unsur yang datang dari luar asal saja tidak bertentangan
dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Corak dan sifatnya yang
sederhana artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasi
nya bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan
dilaksanakan berdasar saling percaya mempercayai.
Keterbukaan nya misal dapat dilihat dari masuknya pengaruh
hukum hindu, dalam hukum perkawinan adat yang disebut “kawin
anggau”. Jika suami mati maka istri kawin lagi dengan saudara
suami. Atau masuknya pengaruh hukum islam dalam hukum waris
adat yang disebut bagian “sepikul segendong”, bagian warisan bagi
ahli waris pria dan wanita sebanyak 2:1
Kesederhanaan misalnya dapat dilihat dari terjadinya transaksi-
transaksi yang berlaku tanpa surat-menyurat misalnya dalam
perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap, cukup
adanya kesepakatan dua belah pihak tanpa adanya suatu surat
menyurat dan kesaksian kepada kepala desa. Begitu pula dalam
transaksi yang lain seperti gadai, sewa-menyewa, hutang piutang,
sangat sederhana karena tidak dengan bukti tertulis.
†    Dapat berubah dan menyesuaikan
Hukum adat itu dapat berubah, menurut keadaan, waktu dan
tempat. Orang Minangkabau berkata “sekali aik gadang sakali
tapian beranja, sakali raja baganti, sakali ada berubah” (begitu air
besar, begitu pula tempat pemandian bergeser, begitu pemerintah
berganti, begitu pula adat lalu berubah). Adat yang nampak pada
kita sekarang sudah jauh berbeda dari adat dimasa Hindia Belanda.
Begitu pula apa yang dikatakan di atas kebanyakan transaksi tidak
dibuat dengan bukti tertulis, namun sekarang dikarenakan
kemajuan pendidikan dan banyaknya penipuan yang terjadi dalam
masyarakat, maka sudah banyak pula setiap transaksi itu dibuat
dengan surat menyurat walaupun di bawah tangan tidak atau belum
dimuka notaris.
†    Tidak di kodifikasi
Hukum adat kebanyakan tidak ditulis, walaupun ada juga yang
dicatat dalam aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan
cara yang tidak sistematis, namun hanya sekedar sebagai pedoman
bukan mutlak yang harus dilaksanakan, kecuali yang bersifat
perintah tuhan. Jadi hukum adat pada umumnya tidak di kodifikasi
seperti hukum adat (Eropa), yang disusun secara teratur dalam
kitab yang disebut kitab perundangan. Oleh karenanya maka hukum
adat itu mudah berubah, dan dapat disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat.
†    Musyawarah dan mufakat
Hukum adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, di
dalam keluarga, di dalam hubungan kekerabatan, dan ketetanggaan,
baik untuk memulai suatu pekerjaan maupun dalam mengakhiri
pekerjaan, apalagi yang bersifat “peradilan”. Dalam menyelesaikan
perselisihan antara yang satu dengan yang lain. Di dalam
penyelesaian perselisihan selalu diutamakan jalan penyelesaian
secara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat, dengan
saling memaafkan, tidaklah tergopoh-gopoh begitu saja langsung
menyampaikan ke pengadilan negara. Jalan penyelesaian damai itu
membutuhkan adanya I’tikad baik dari para pihak dan adanya
semangat yang adil dan bijaksana dari orang yang dipercayakan
sebagai penengah atau semangat dari Majelis Permusyawaratan
Adat.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa corak dan sifat
hukum adat yang ada dalam alam pikiran masyarakat Indonesia
sangat berbeda dengan corak dan sifat hukum adat menurut alam
pikiran masyarakat barat. Yang cenderung individualist dan liberalis.
Mengenai hukum Indonesia yang normatif pada umumnya
menunjukkan corak yang tradisional, kebersamaan, keagamaan,
konkrit dan visual, terbuka dan sederhana, dapat berubah dan
menyesuaikan, tidak di kodifikasi, musyawarah dan mufakat.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar dalam makalah ini
pasti banyak sekali kekurangannya untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Dan mudah-mudahan makalah ini bermanfaat Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Mandar Maju, Bandung: 1992
Kusmadi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia.
Aksara Baru, Jakarta: 1976
Prof. H.A.M. Effendy, SH. Pengantar Hukum Adat. Toha Putra,
Semarang: 2001.
CORAK HUKUM ADAT
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Hukum Adat
Dosen Pengampu: Arifin M. Hum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar